bahagia itu semu adanya
Saya yakin kalian yang membaca setuju dengan pernyataan saya yang satu ini. Kebahagiaan itu membingungkan. Ia tidak bertuan, dan memiliki kebebasan untuk datang dan pergi dan meninggalkan. Ia kembaran dari kenyataan, dan ketidaknyataan.
Saya pernah dengan bodohnya menyerahkan sebagian besar kehidupan saya kepada rasa bahagia. Ketika naif masih menjadi bagian dari jiwa. Saat itu bahagia sedang betah tinggal bersama saya, tidur bersebelahan dengan senyum dan tangis dan tawa dan airmata. Saya ingat, mereka berteman akrab. Hanya saja, saya tidak boleh membiarkan mereka terlalu akrab. Dan saya melewatkan hal itu.
Yang saya ingat, saat itu ada tokoh baru, namanya masalah. Ia gemar memporak poranda segala sesuatu, termasuk hubungan. Dan yang saat itu berhasil ia hancurkan adalah hubungan antara bahagia dengan airmata. Dan airmata menjalin hubungan khusus dengan tangis. Alhasil, mereka membuat bahagia tidak mampu bertahan. Ia memilih pergi dari peraduan, sehingga jiwa tidak lagi menjadi bagian. Mencari tuan yang baru, atau memilih menjadi perantau bisu.
Saya tahu persis, airmata dan tangis juga merasa kehilangan. Mereka juga membutuhkan. Tetapi... sudah. Ceritanya sudah menemukan kata berakhir. Bagiannya sudah lagi layu dan tidak mampu berbuah.
Ia tahu, saya seringkali merindu. Saya sering menatap tempat dimana ia sering singgah dan beristirahat. Saya juga tahu ia sering mengintip dari balik jendela, entah hanya mengintip atau memang rindu yang menggelitik. Tetapi kemudian ia akan pergi lagi, tanpa sempat membubuhkan rasa. Dan saya tidak memiliki kuasa untuk mengundang, walau sekedar minum kopi dan bersenda kawan.
Saya juga tidak bisa meminta balik kehidupan yang sering ia bawa di bibirnya. Saya yang bodoh, mentato bagian terpenting dari jiwa kepadanya. Menitipkan segala yang saya punya kebagiannya. Ia sudah terluka, dan saya sudah menggila. Sedang airmata dan tangis memilih tinggal diam dan bersabda.