This rush day feels so blessed
for me. I woke up in the morning, feeling so tired yet realize that I’ve to go
so early gegara meeting yang kudu dikejar di luar kota. L A Z Y. Itu kata
berulang kali diputar di otak, rasanya gamau kemana-mana, mau ngeluh doang, pengennya
gegulingan dikasur pke AC seharian –just like my usual dream. But then I
realize, I need to continuing this life. (Sok) optimis, I tried (sooo hard)
buat nyiptain fake smile jam setengah tiga dini hari buat siap-siap ke bandara.
Entah ini ada korelasinya atau
ngga, but I feel those effort gave me something today.
Setelah memaksakan diri buat
tersenyum, somehow I felt myself try to re-create the real smiles for my soul.
And then the universe responded by smiling back. Somehow. Mungkin emang otak
gue yang lagi ada di kurva positif. Dunno, but I love this.
Setelah prosesi
senyum-yang-dibalas-senyuman-balik-oleh-semesta itu, sepanjang hari ini gue
merasa tidak terlalu buruk. The meeting goes smoothly, my boss feels so kind
and charming (as always sih ini –lucky me!), and I have another bless, small
chit-chat with my older sister-in-law.
Since I have no other plan after
the meeting finished, I realize that I’ve missed ponaan-ponaan charming gue. Kebetulan
lagi di kota yang sama, kebetulan lagi ada waktu senggang sebelum flight
pulang, kebetulan pakbos took his time earlier at his hotel room, kebetulan
kaka sepupu lagi ambil cuti (well, she is sick. Bingung jg sih mau bilang ini
kebetulan yang menguntungkan atau ngga...), kebetulan rumah sodara aing gak
terlalu jauh dari bandara, and so on and so on. Gak pake banyak bacot, gue
langsung minta sodara gue buat share location.
And there, again I learned
something new today.
Keluarga gue bukan dari kalangan
orang berada, gak ada korelasinya sama Keluarga Cendana bahkan lebih mirip
Keluarga Cemara. Gak ada yang punya hubungan sama manusia-manusia mafia kelas
kakap-nya Indonesia, apalagi yang diluar sana. Jadi, jangan berpikir ketika gue
main kerumah sodara yang di Kota S atau nyamper rumah sodara yang di Kota M itu
berarti gue ‘nemplok’ di rumah gedong yang levelnya ngalahin bintang lima plus lima.
Nope. I can truly say that my family is not reaching that level (yet. Amen sodara
sodara).
But, we have something that much
more precious than money. Dan gue diingetin lagi, hari ini, soal ini.
Ada yang tau kisah janda tua yang
ngasih persembahan 1 dinar vs orang kaya yang ngasih 10 dinar gak? Gue jg gak
inget keseluruhan ceritanya, sih. But more less kisahnya kesimpulan ceritanya
kayak gini. Si janda sebenernya ngasih lebih banyak dari si orang kaya, because
she gave all that left in her sementara si orang kaya ngasih dengan nominal 10
kali lipat dari si janda tapi itu cuma recehan sisa jajannya dia.
Gue ngga dijamu pake wine harga
puluhan juta atau rib-eye steak medium rare, tapi gue dikasih sayur asem sama
ekor ikan potongan terbaik dari dapur mereka yang rasanya –sumfe ya- enak
banget. Gue ngga duduk di sofa lapis beludru pake AC dingin tapi gue bobo-an di
lantai pke bantal yang dipake mereka pas tidur tapi ditemenin sambil curcol
seru.
Dan semuanya dikasih PAKE
PERASAAN. They are care. Hem, how can I describe this?
“Shin, makan dulu lah kamu. Apa kakak
yang suapin?” (every 30 minutes wakakak). “Tante ngapain? Kenapa masukin jaket
ke tas?” (si bulet asked me when I tried silently nabung nyusun2 barang soalnya
bentar lagi mau pamitan”. “Tante minum es coklatnya juga dong,” (kata si bulet
sambil nyodorin sedotan lain dari gelasnya –walau gue tau dia kudu ngelakuin
itu biar dia bisa tetep minum es coklatnya HAHAHA). Etc. Etc.
For some people this might give
no effect. “Receh lo, kayak gitu doang aja seneng.” But hey, ada beberapa
faktor lain yang bikin those little affection feels ‘so ngena’.
1.
The
way they say it. Ada manusia-manusia yang ngga bisa mengemukakan kalimatnya
dengan cukup santun. Gue hidup di jaman dimana people using harash words to
show their love (IYE, LO GITU JUGA KAN NYET) dan gue ternyata masih tersentuh
ketika dipanggil dengan panggilan gue yang seharusnya. Sodara gue –dan si duo
krucilnya ini- juga punya cara yang super kece when saying what inside their
mind into words. They speak nicely. Sopan tanpa arogansi. Super rendah hati. Gue
rasa ngga semua orang punya kemampuan kayak gini, even they who take pelatihan
karakter or something like that. Berapa banyak sih orang di dunia ini yang
masih memikirkan bagaimana perasaan lawan bicara jika kita mengatakan sesuatu? Less
than a number that you can imagine.
2.
Want to
listen. Lagi. Siapa yang masih punya kecenderungan gak bisa diem maunya
ngomong doang? I feel this to sometimes. Kemampuan untuk ‘ngerem mulut’ even
lagi ngobrol sama sanak saudara atau temen-temen terdekat, ini juga –menurut gue-
merupakan karakter tersendiri. Mau mendengarkan itu sulit loh, apalagi kalo
ketemu lawan bicara yang annoying LOL.
This makes me realize, ngga heran
ini manusia-manusia punya banyak banget temen, coz mereka bisa bikin lawan
bicara mereka merasa nyaman. At the
end, perasaan kayak begini kan yang semua orang cari? And at the end, gue
menemukan spasi untuk menulis lagi disini.
si krucil who makes me feel so loved. til we meet again!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar