Jumat, 16 Desember 2011
derit pelatuk
Rabu, 30 November 2011
kata berkata
Hentikan ini semua.
Aku memang mencinta, tetapi aku tak dicinta, lagi.
Dia, aku, kamu.
Kamu, dia, aku.
Kalian, dan aku. Bukan kita dan dia.
Karena kalian terlalu rapuh dari aku.
Biar saja semua yang tertera menjadi mimpi indah diantara bayangmu dan senyumku. Hanya ilusi. Dan bukan certa utuh yang pantas diabadikan.
Abaikan saja rindu yang menggelitik, yang sesekali menyusup kemudian mengiris, ia hanya bagian yang harus kamu dan aku lewati dalam proses menjadi dewasa. Dengan keputusan yang kamu dan aku akan pelajari.
Semuanya akan baik-baik saja. Suatu hari nanti.
Dengan waktu yang terulur dan jarak yang terukir.
Jangan memencak, aku yang telah menggali kuburku sendiri. Aku hanya bercerita, dan bukan memelas untuk meminta.
Hey, langit-langit dengan riap harap yang tak pernah habis diantara semu,
Jangan menatapku pelik.
Aku tak sudi melihatmu mendelik. Karena kamu hanya saksi yang bisu tuli buta.
Tiga tahun bukan waktu yang singkat. Untuk aku, kamu. Kamu, aku. Bukan kita. Memang tetiada kita.
Saat kamu rasa, aku buta. Saat aku rasa, kamu tak bersedia.
Meski kamu kata akan ada aku dan kamu. Di lain waktu. Kapan? Nanti. Nanti? Kapan-kapan.
Bukan, langit-langit. Aku tak mau lari. Aku bahkan tak bisa lari. Kamu satu yang mungkin diperjuangkan dan ingin diperjuangkan tanpa dipandang pantas tidaknya untuk diperjuangkan.
Hanya saja, langkah yang terpekur sudah membuat jiwaku tersuruk. Jangan berharap ada lagi senyum yang benar di bibir. Aku lupa. Jika kamu mengira senyum ini benar, maka kamu buta.
Kamu benar sudah merebut sendi hati tanpa sudi mengembalikannya. Atau mungkin sudah hilangkannya?
Atau bahkan kamu tengah bermain dengannya.
Aku tak tahu. Tak mau tahu.
Satu hal pasti, semuanya sudah menjadi milik kamu. Aku tak peduli mau kamu buang, kamu juang, kamu bentang, kamu pasang. Atau kamu jadikan sisa petang sebagai hiburan. Atau mungkin sekedar pajangan kebanggaan?
Aku tak menuntut. Ini salahku. Kuburanku. Nyawaku.
Mati.
Hey langit-langit dengan riap harap yang tak pernah habis diantara semu, kamu tau?
Mungkin kamu yang tengah bersekongkol dengan kamu. Disini aku tertawa miris menatap pilu. Mengapa dengan mudah aku menitipkan semua nyawa yang kumiliki kepada kamu yang tak bisa kumiliki untuk saat ini?
Tuhanku aku, buta.
Diantara pahit-pahit yang memeluk, dengan sendi-sendi harap yang menusuk.
Aku merana.
Ditempa hidup yang membabi buta coba merasuk dan menyakti hingga tak lagi aku punya bentuk.
Menelan sayup pilu yang bertumpuk disetiap mimpi-mimpi yang setiap hari semakin buruk.
Penciptaku, aku tak lagi kuasa.
Satu-satu nafas yang ditampuk hanya buat jiwaku semakin remuk.
Aku tak pinta.
Detik-detik hidup yang coba merajuk lagi mampu tempaku jadi terbekuk.
pagi yang menyusup dari pias yang tertumbuk buat makin tertohok, masuk.
Aku tak mau nyawa yang terpendar, tarik saja. Pendaran nadi haya membunuhku pelan-pelan.
Meregang nyawa yang kunanti, mengapa tak kunjung datang?
Senin, 31 Oktober 2011
goodbye, teenager.
Hari ini, katanya spesial. Biasanya minggu malam udah lenyeh di kamar kos, sekali ini diminta mama tetap dirumah dan memilih untuk ikut papa berangkat pagi buta yang akan berangkat ke bandara jam lima. Kenapa?
Biar orang rumah tetap bisa ngucapin selamat ultah secara langsung, untuk yang pertama. Dan masih, papa berhasil menjadi orang yang pertama. Lelakiku.
Kata banyak orang –dengan saya masih dalam satu pemikiran-, ulang tahun itu penting. Inginnya ada saat untuk tiup lilin. Ada ucapan dari orang yang terpenting. Mendapat doa dan kecupan di pipi dan di kening. Todongan bayarin makan dari banyak orang yang ingin.
Entah kenapa, di tahun ini semua hampir terasa hambar.
Bukan tanpa alasan, tetapi justru kekhawatiran yang lebih mendominasi. Beberapa hari silam, saya mencoba membuat bahan renungan untuk introspeksi diri, dengan bertanya secara gamblang kepada sejumlah orang dalam contact BBM tentang karakter yang seharusnya saya buang.
Dan, tidak ada jawaban yang cukup memuaskan, sehingga saya gagal mencari cerminan agar menjadi manusia yang lebih baik.
Jujur, saya khawatir jumlah angka yang sudah jelas menghapus kata teenager tidak berbanding lurus dengan tingkat kedewasaan yang saya miliki. Kini pilihan hanya ada dua yang tersisa; “menjadi dewasa sejalan dengan usia” atau “kekanakan meskipun usia sudah masuk kepala dua”, tanpa pilihan “kekanakan karena memang belum dewasa”.
Dan karena hal ini juga, saya berharap tidak menjadi pusat perhatian untuk hari ini. memilih untuk memperhatikan daripada diperhatikan. Untuk melihat daripada dilihat. Karena saya belum siap, menjadi dewasa. Pemikiran saya masih kanak-kanak. Belum pantas dibilang ‘dua puluhan’.
Hal kecil seperti ini justru terasa lebih mengganggu. Entah mengapa banyak orang berpikir bahagia di hari lahir yang berulang. Banyak yang menuntut kedewasaan di hari yang sama. Padahal, seharusnya bertambah dalam hal positif itu dilakukan setiap hari, bukan? Mengapa orang-orang justru mengharapkan perubahan dalam satu hari saja?
Sebenarnya, saya lebih berharap semua berjalan seperti biasa. Jangan ingatkan saya kalau jatah hidup saya sudah kembali berkurang, karena sebenarnya saya menyadari bahwa setiap hari saya bertambah tua dan (semoga) bertambah dewasa.
Tetap, saya akan tetap berucap selamat menapaki hari dengan pemikiran yang berbeda, gadis hujan. Semoga hujan yang berlalu dan berlalang di harimu yang datang tidak sampai hati untuk membasahi sudut-sudut mata yang tengah berusaha untuk kering.
Kamis, 27 Oktober 2011
blogger's day!
Selasa, 25 Oktober 2011
saat kamu
Rabu, 19 Oktober 2011
Selasa, 20 September 2011
Mari, kamu
Senin, 22 Agustus 2011
mimpi
Rabu, 22 Juni 2011
sudah, biarkan
karena pelangi yang membentang bukan ditujukan untuk pengharap mimpi
menyamar sebagai senyum penggembira dan memberi cerita-cerita bahagia
dan mengakhiri kisah sendiri yang berbalut derita tanpa sudi melangkah pergi
sudah, bebaskan saja menari bersama cita-cita kelabu beralaskan merah muda
karena lelaki yang dinanti tak akan pernah ada untuk hari yang dirajut pedih
melangkah satu-satu untuk pergi dan menyanyi sejumput kisah si gadis hujan
kemudian memonopoli akhir dengan tawa meski bukan bahagia yang terbawa
sudah, biarkan saya. bebaskan saja
berlari dengan mimpi yang akan dilepas satu-satu hingga habis semua.
Jumat, 27 Mei 2011
cerita tertera
ketika menyadari kehadiran senyummu yang tak mungkin dihindari
dengan setitik luka yang sama, tanpa tawar yang berbeda
bahkan tak dapat dibandingkan antara tangis dan tawa
sepetak langkah yang terhimpit ternyata berujung
saat mengetahui adanya hangatmu yang lebih berseri
tanpa cela yang bermakna, dengan hasrat yang tak mendua
hanya perlu waktu untuk menikmati dan semua berbeda
sekejap mata yang kurakit bukan sia yang akhiri
waktu bergulir dan mengetahui adanya hari yang lebih pasti
bukan tanpa tiada, namun sedikit lebih jauh dari perih
dan rasa yang tersedia mau tak mau akan tercicipi asa
aku mencinta? ah, entah
hanya saja, bayanganmu terlalu melekat pada dinding kesadaranku.
Kamis, 07 April 2011
telapak tangan
saya ingat bagaimana dulu telapak tangan bisa jadi satu-satunya media penyalur rasa yang paling efektif ketika kebersamaan itu ada. tangan saya besar, dan tangan kamu lebih besar lagi, tuan. semua hangat yang saya butuhkan pasti mengalir dari sana. dari telapak tangan anda. bahkan tidak hanya hangat, terkadang keringat. tapi saya suka.
dan saat ini saya bertanya pada Tuhan yang menemani saya ketika tidur sendirian. telapak tangan siapa yang akan menggantikan kehangatan telapak tangan anda kelak? saya sudah menolak empat orang sejak anda melepaskan telapak tangan anda dari genggaman saya, dan memilih untuk mencari tangan lain. dan semua karena telapak tangannya bau.
bukan bau dalam pengertian denotasi, tetapi saya tidak menyukai telapak tangan mereka.
lagunya masih berputar di playlist komputer dan ponsel saya, harder than you know-escape the fate. dan sesekali membayangkan kehangatan yang sama mengalir ketangan saya. saya tidak pernah menyesal mengenal anda. dan saya berharap persahabatan itu menjadi sarana baru bagi saya untuk mendapatkan kehangatan itu lagi.
Selasa, 05 April 2011
tapak rindu yang menyayat
ketika rindu menjadi kunyahan rasa yang pahit terasa
ketika rindu hanya luapan sakit yang terbentuk karena pedih
ketika rindu hanya rindu yang ditelan oleh dirimu sendiri
maka setiap lagu yang terdengar akan sesak menjadi
dan semua kata yang terlahir hanya memilih untuk sia-sia
ketika rindu yang menyayat harimu bukan lagi milikmu seutuhnya.
Kamis, 17 Maret 2011
aku adalah
aku adalah air dingin yang ada ketika haus mengendap di tenggorokan
aku adalah lengkungan pelangi ketika hujan dengan petir telah habis peraduan
aku adalah fortuna dengan senyum ketika keajaiban menjauhi setiap langkah
aku adalah manis yang didamba ketika lidah mengecap pedas begitu menyiksa
aku adalah angin yang tertiup ketika siang menyengat lalu mencipta gerah
aku adalah tetesan peluh ketika aktivitas yang dilalui menjadi begitu lelah
aku adalah hiruk bahagia ketika hari yang tertambat ternyata berbentuk bosan
aku adalah tawa dengan bebas ketika cerita yang dirangkai menjadi himpitan
aku adalah harap dengan mimpi ketika nyata menjadi jauh dari jangkauan
aku adalah alasan ketika penyataan tercipta
aku adalah sebab ketika akibat menandai kata
aku adalah aku
rindu yang terasa ketika kamu begitu merana.
Selasa, 08 Maret 2011
dempa
menunggu wanita demi wanita singgah di pelukan
aku berlari lalu tertawa dengan bebas? jangan heran
jika kamu kadal yang bertaburkan malaikat di hadap wajah, maka aku setan
dengan pelupuk dendam pembalasan yang bersiap bertaburan
beririskan potongan senyum dengan topeng bertahtakan kebencian
kamu, lelaki dengan cinta yang bergelantungan
mungkin kamu belum mengenali identitas saya yang baru jadi?
wanita berhiaskan sejuta tatapan berlian
untuk mentahbiskan rasa bertekuk lutut dengan kematian.
dan kamu, lelaki dengan cinta, akan bertepuk sebelah tangan
suatu saat, dengan kebencian.
Minggu, 06 Maret 2011
kamu dan dia ternyata sama.
ternyata kamu dan dia sama saja. pelik
riak pikuk yang berucap ternyata bisa begitu mematikan
kamu berkata, nyata menjabar
lika-liku hidup tak lagi mampu menjadi alasan
dengan jutaan waras yang berlarian kesana kemari
ditambah nyata ternyata kamu dan dia sama saja. pelik
setiap galau yang dunia hadirkan, mungkin kamu tahu
bahkan semua senti dari pikiran picik dia yang terekam
kamu tahu
ah. langit-langit bisu mendelik perih.
mengapa kamu tak mencoba memberi penawar, dulu?
ternyata kamu dan dia sama saja. pelik
Kamis, 10 Februari 2011
syahdu ditengah lagu
bersama dengan rajutan harap yang ingin kulimpahkan
keinginan semu yang melunjak, menuntut
bersembunyi dibalik kadar bohong secarik senyuman
dengan cinta
tanpa asa
dicerca mimpi
dibasuh deri
ingin yang menggelegar didalam nadi kini meledak
membunuh segumpal besar kita di masa lalu
dan kamu menjadi ganjalan tergores buat tersedak
meludahi rentetan gelap yang masih mendayu
bayang mati
bayang lari
kamu jadi
aku pergi.
dengan kita menjadi sesuatu yang tak pernah ada di muka bumi.
Senin, 07 Februari 2011
saban hari bukan lagi getir
berjuta-juta senyum menggores sudut bibir
menghiasi butir hujan dengan segenggam cengir
ah, ternyata bahagia masih ada
saban hari
membiarkanmu pergi tak lagi menjadi getir
Minggu, 23 Januari 2011
bercerita tentang
rentetan rasa yang dulu terngiang bersama ribuan cinta yang merekah
kemudian bersama merakit angan tentang dunia dengan menjelajah
duniaku, duniamu.
meski belum ada dunia kita, dan tanpa akhir bahagia
namun ini kapal yang sama
hanya tokoh utamanya belum lagi merengkuh asa
hanya bercerita, tentang
untaian khayal dengan segenggam bahagia yang siap ditelan mentah
lalu nyata menghardik dengan pembelaan yang menyiksa resah
harapanku, harapanmu.
dengan tak ada dunia kita sekarang, dan tanpa akhir bahagia.
atau mungkin tanpa akhir bahagia bagi tokoh utama.
Jumat, 21 Januari 2011
kelam dan senga(ng)
kemudian menari diantara senyap yang menghadang
hanya terisi dengan lamunan serta khayalan sumbang
tentang kamu dan dia yang berteriak di setiap bimbang
dan aku dan kamu yang tak bisa menggelapkan bayang
setitik menggeliat lalu menggebrak nadi yang hampir tenang
menggugah penyamun mimpi yang tengah menggali sarang
mencoba menjahit ketidakmungkinan yang terlanjur menggenang
berupaya sendiri menarik hitam dirimu, kini menghilang
meski kamu yang berjanji akan selalu datang
terlalu sulit, aku masih berjuang
mengumpulkan pundi kerinduan yang berlalu-lalang
tentang kamu dan dia, yang berteriak disetiap bimbang
namun aku mencoba bersinar ditengah padang
diantara kabut yang menjulang-julang