Senin, 22 Desember 2014

Celoteh daun teh di pagi hari

Istirahat makan siang, jemari saya menarikan ritual pemanggil hujan. Satu-dua ketukan, justru menemukan satu tulisan lama milik seorang Shinta yang lama.
Mungkin menarik untuk kalian baca, mungkin tidak. Tetapi ini rumah saya, dan saya punya kapasitas penuh untuk meletakkan sampah apapun didalamnya.


Celoteh daun teh di pagi hari
Menggenggam embun di pangkuan, tatapannya menerawang
Matahari tersenyum lebar, tidakkah kamu ingin mengecupnya ringan?
Jangan tunggu hari esok, rupanya semu
Sepetik lengah dan kita hanya akan lebur menjadi uap dengan udara

Celoteh daun teh di pagi hari
Menantang terik di hadapan dunia, angannya terbahak
Matahari mengerling penuh makna, tidakkah kamu ingin merengkuhnya dalam?
Jangan tunggu hari esok, rupanya semu
Sebelum malam menjadi preman dan mencuri harap yang tertumpuk di permukaan

Celoteh daun teh di pagi hari
Warnanya kian memudar, sementara aromanya telah menyengat pekat
"Waktuku menipuku," bisingnya pilu
Dan kini saatku menyelinap pergi, pagi-pagi yang kulalui
Mengapa kamu hanya menunggu hari esok, yang rupanya semu?


Cipanas, Juli 2013

Gadis Hujan.


Ps: saya bahagia. Ada apresiasi dari tulisan saya, yang lamat tersendat dan terlihat tidak mungkin memikat. Setidaknya ada peminat. Terima kasih, kamu :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar