Senin, 01 Oktober 2018

Tentang Tertolak

Halo, Oktober!


Every single year, setiap memasuki bulan Oktober I always imagining myself doing things dan hal-hal berada diluar kebiasaan, apapun itu. Dan, baru Oktober tahun ini finally bisa realisasi buat mengambil keputusan-keputusan diluar nalar, diluar perencanaan matang. Resign dari PT. PP (Hell yea, officially pengangguran dan gue bahkan ngga ada menyesali hal ini sedikitpun), mengambil solo trip ke Karimun Jawa (iya, deket. I have not enough money to have my solo trip outside this country, so be it), mencoba fokus belajar analisis fundamental saham (sounds cool? well, modal gue belom seberapa tbh) dan -soon- keputusan-keputusan lain yang harus-dengan-segera-untuk-disegerakan akan diambil demi kebahagiaan mental seorang Shinta Theresia kedepannya. 


Jujur, ngerasa terlalu ngebut. I only have one month for sure. To think with a fresh mind. To be 100 percent me, without feeling pressure. Hem, bukan tanpa pressure juga sih, since my mom knows me being unemployed before im officially unemployed, ane langsung ditodong dateng interview sana-sini (seriously, bahkan sebelum official cabut, gue udah interview di dua perusahaan yang berbeda!) dan bodohnya (atau mencoba bijak? atau berusaha menyenangkan hati orangtua?) aku dateng interview. While I have no idea what else to do to make them happy. Or not feeling insecure anymore. Karena berdasarkan pengalaman mereka, tidak baik jika seorang anak nganggur lama-lama, takutnya nanti jadi gila. They don't really know that I am already that insane, tho 😂


On that process, I'm trying sooo hard biar gak membuat mereka kecewa atas kehidupan gue yang lumayan sampah ini. To make them believe that I have something, ngga harus nempel sana-sini kayak apa yang mereka bayangkan soal bekerja. I said, I've been accepted to work as a lecturer (IYA NJET, GUE JADI DOSEN KEBAYANG GAK LO?), salah satu perusahaan yg mereka suruh gue buat interview juga ngebet bgt pengen gue kerja disitu while I'm not so into it. I also said a possibility to find a job in Germany, since I have friends already stays there. Just a possibility, bukan berarti gue bener-bener pengen stay disana seumur hidup dan gak balik ke Indonesia etc etc. Because pada kenyataannya, I'm still have no idea what I want to do in my life.

Guess what?

Yep. Again, in my life, gue merasakan penolakan. Funny, because I think I've controlled my feeling very well untuk ngga mengharapkan apapun dari mereka, termasuk agar mereka menerima jalan pikir gue yang sebenernya ngga salah-salah amat (atau emang otak gue salah? have no idea). I just wanna try. I've missed a lot, dan berharap sekarang-sekarang bisa ngambil banyak keputusan biar ngga nyesel nantinya. I think I wont feel hurt anymore if they aren't support me (padahal ngga muluk2 juga, I just wish they will say "tiati, jgn gegabah" or else. Atau yg paling cool, mau kasih sangu buat gue jalan-jalan ke Jerman HAHAHAH), but nope. Dan rasa sakitnya double, because you aren't being supported by someone who, deep inside, you wish she did.
Just realize that I am pretty weak.


I never want to count how many times I've been rejected. Beneran, siapa sih yang demen nginget2 rasa sakit? Yesterday I came to my church in Cikini after weeks not coming there. Bubar gereja, saking akrabnya satu sama lain, biasanya pada ngumpul lagi dibawah, dibagi ke beberapa kelompok such as emak2 rempong, emak2 koor, bapak2 rempong, babe2 penatua, dan anak2 muda yang sebenernya udh gak muda lagi. Makan snack yang selalu ada setiap minggu + kopi sachet atau kopi item ma luv. Turun gereja, suddenly inang Situmorang (one of pentolannya gereja gue, tapi doi ngga deket2 banget juga ama keluarga gue) nyamperin buat salaman dan dengan muka ramah bilang, "Halo Shinta, jadi kapan ke Jerman?" DIH. GIMANE DAH bingung gue.

Begitulah jadi Shinta the explorer. Sering banget gue ngerasa hidup ini cuma lawakan doang. Tapi tertolak atau ngga, I know that I have to decide my life for myself. Karena yang ngejalanin hidup ya diri sendiri. Orang-orang disekeliling lo bisa sampe berbusa-busa ngingetin, ngatur, etc, but then ketika penyesalan akan keputusan tersebut dateng, lo yang ngerasain semua seutuh-utuhnya sendiri. Semenyesal apapun kamu akan kehidupan, akan less dissapointing ketika keputusan-keputusan itu diambil oleh diri kamu sendiri dan bukan orang lain.

Ada amen, sodarah-sodarah?

Rabu, 16 Mei 2018

Gratitude Pangkal Manusia Beradab


This rush day feels so blessed for me. I woke up in the morning, feeling so tired yet realize that I’ve to go so early gegara meeting yang kudu dikejar di luar kota. L A Z Y. Itu kata berulang kali diputar di otak, rasanya gamau kemana-mana, mau ngeluh doang, pengennya gegulingan dikasur pke AC seharian –just like my usual dream. But then I realize, I need to continuing this life. (Sok) optimis, I tried (sooo hard) buat nyiptain fake smile jam setengah tiga dini hari buat siap-siap ke bandara.

Entah ini ada korelasinya atau ngga, but I feel those effort gave me something today.

Setelah memaksakan diri buat tersenyum, somehow I felt myself try to re-create the real smiles for my soul. And then the universe responded by smiling back. Somehow. Mungkin emang otak gue yang lagi ada di kurva positif. Dunno, but I love this.

Setelah prosesi senyum-yang-dibalas-senyuman-balik-oleh-semesta itu, sepanjang hari ini gue merasa tidak terlalu buruk. The meeting goes smoothly, my boss feels so kind and charming (as always sih ini –lucky me!), and I have another bless, small chit-chat with my older sister-in-law.

Since I have no other plan after the meeting finished, I realize that I’ve missed ponaan-ponaan charming gue. Kebetulan lagi di kota yang sama, kebetulan lagi ada waktu senggang sebelum flight pulang, kebetulan pakbos took his time earlier at his hotel room, kebetulan kaka sepupu lagi ambil cuti (well, she is sick. Bingung jg sih mau bilang ini kebetulan yang menguntungkan atau ngga...), kebetulan rumah sodara aing gak terlalu jauh dari bandara, and so on and so on. Gak pake banyak bacot, gue langsung minta sodara gue buat share location.

And there, again I learned something new today.

Keluarga gue bukan dari kalangan orang berada, gak ada korelasinya sama Keluarga Cendana bahkan lebih mirip Keluarga Cemara. Gak ada yang punya hubungan sama manusia-manusia mafia kelas kakap-nya Indonesia, apalagi yang diluar sana. Jadi, jangan berpikir ketika gue main kerumah sodara yang di Kota S atau nyamper rumah sodara yang di Kota M itu berarti gue ‘nemplok’ di rumah gedong yang levelnya ngalahin bintang lima plus lima. Nope. I can truly say that my family is not reaching that level (yet. Amen sodara sodara).

But, we have something that much more precious than money. Dan gue diingetin lagi, hari ini, soal ini.

Ada yang tau kisah janda tua yang ngasih persembahan 1 dinar vs orang kaya yang ngasih 10 dinar gak? Gue jg gak inget keseluruhan ceritanya, sih. But more less kisahnya kesimpulan ceritanya kayak gini. Si janda sebenernya ngasih lebih banyak dari si orang kaya, because she gave all that left in her sementara si orang kaya ngasih dengan nominal 10 kali lipat dari si janda tapi itu cuma recehan sisa jajannya dia.

Gue ngga dijamu pake wine harga puluhan juta atau rib-eye steak medium rare, tapi gue dikasih sayur asem sama ekor ikan potongan terbaik dari dapur mereka yang rasanya –sumfe ya- enak banget. Gue ngga duduk di sofa lapis beludru pake AC dingin tapi gue bobo-an di lantai pke bantal yang dipake mereka pas tidur tapi ditemenin sambil curcol seru.

Dan semuanya dikasih PAKE PERASAAN. They are care. Hem, how can I describe this?

“Shin, makan dulu lah kamu. Apa kakak yang suapin?” (every 30 minutes wakakak). “Tante ngapain? Kenapa masukin jaket ke tas?” (si bulet asked me when I tried silently nabung nyusun2 barang soalnya bentar lagi mau pamitan”. “Tante minum es coklatnya juga dong,” (kata si bulet sambil nyodorin sedotan lain dari gelasnya –walau gue tau dia kudu ngelakuin itu biar dia bisa tetep minum es coklatnya HAHAHA). Etc. Etc.

For some people this might give no effect. “Receh lo, kayak gitu doang aja seneng.” But hey, ada beberapa faktor lain yang bikin those little affection feels ‘so ngena’.

1.       The way they say it. Ada manusia-manusia yang ngga bisa mengemukakan kalimatnya dengan cukup santun. Gue hidup di jaman dimana people using harash words to show their love (IYE, LO GITU JUGA KAN NYET) dan gue ternyata masih tersentuh ketika dipanggil dengan panggilan gue yang seharusnya. Sodara gue –dan si duo krucilnya ini- juga punya cara yang super kece when saying what inside their mind into words. They speak nicely. Sopan tanpa arogansi. Super rendah hati. Gue rasa ngga semua orang punya kemampuan kayak gini, even they who take pelatihan karakter or something like that. Berapa banyak sih orang di dunia ini yang masih memikirkan bagaimana perasaan lawan bicara jika kita mengatakan sesuatu? Less than a number that you can imagine.

2.       Want to listen. Lagi. Siapa yang masih punya kecenderungan gak bisa diem maunya ngomong doang? I feel this to sometimes. Kemampuan untuk ‘ngerem mulut’ even lagi ngobrol sama sanak saudara atau temen-temen terdekat, ini juga –menurut gue- merupakan karakter tersendiri. Mau mendengarkan itu sulit loh, apalagi kalo ketemu lawan bicara yang annoying LOL.

This makes me realize, ngga heran ini manusia-manusia punya banyak banget temen, coz mereka bisa bikin lawan bicara mereka merasa nyaman. At the end, perasaan kayak begini kan yang semua orang cari? And at the end, gue menemukan spasi untuk menulis lagi disini.



si krucil who makes me feel so loved. til we meet again!