Rabu, 16 Mei 2018

Gratitude Pangkal Manusia Beradab


This rush day feels so blessed for me. I woke up in the morning, feeling so tired yet realize that I’ve to go so early gegara meeting yang kudu dikejar di luar kota. L A Z Y. Itu kata berulang kali diputar di otak, rasanya gamau kemana-mana, mau ngeluh doang, pengennya gegulingan dikasur pke AC seharian –just like my usual dream. But then I realize, I need to continuing this life. (Sok) optimis, I tried (sooo hard) buat nyiptain fake smile jam setengah tiga dini hari buat siap-siap ke bandara.

Entah ini ada korelasinya atau ngga, but I feel those effort gave me something today.

Setelah memaksakan diri buat tersenyum, somehow I felt myself try to re-create the real smiles for my soul. And then the universe responded by smiling back. Somehow. Mungkin emang otak gue yang lagi ada di kurva positif. Dunno, but I love this.

Setelah prosesi senyum-yang-dibalas-senyuman-balik-oleh-semesta itu, sepanjang hari ini gue merasa tidak terlalu buruk. The meeting goes smoothly, my boss feels so kind and charming (as always sih ini –lucky me!), and I have another bless, small chit-chat with my older sister-in-law.

Since I have no other plan after the meeting finished, I realize that I’ve missed ponaan-ponaan charming gue. Kebetulan lagi di kota yang sama, kebetulan lagi ada waktu senggang sebelum flight pulang, kebetulan pakbos took his time earlier at his hotel room, kebetulan kaka sepupu lagi ambil cuti (well, she is sick. Bingung jg sih mau bilang ini kebetulan yang menguntungkan atau ngga...), kebetulan rumah sodara aing gak terlalu jauh dari bandara, and so on and so on. Gak pake banyak bacot, gue langsung minta sodara gue buat share location.

And there, again I learned something new today.

Keluarga gue bukan dari kalangan orang berada, gak ada korelasinya sama Keluarga Cendana bahkan lebih mirip Keluarga Cemara. Gak ada yang punya hubungan sama manusia-manusia mafia kelas kakap-nya Indonesia, apalagi yang diluar sana. Jadi, jangan berpikir ketika gue main kerumah sodara yang di Kota S atau nyamper rumah sodara yang di Kota M itu berarti gue ‘nemplok’ di rumah gedong yang levelnya ngalahin bintang lima plus lima. Nope. I can truly say that my family is not reaching that level (yet. Amen sodara sodara).

But, we have something that much more precious than money. Dan gue diingetin lagi, hari ini, soal ini.

Ada yang tau kisah janda tua yang ngasih persembahan 1 dinar vs orang kaya yang ngasih 10 dinar gak? Gue jg gak inget keseluruhan ceritanya, sih. But more less kisahnya kesimpulan ceritanya kayak gini. Si janda sebenernya ngasih lebih banyak dari si orang kaya, because she gave all that left in her sementara si orang kaya ngasih dengan nominal 10 kali lipat dari si janda tapi itu cuma recehan sisa jajannya dia.

Gue ngga dijamu pake wine harga puluhan juta atau rib-eye steak medium rare, tapi gue dikasih sayur asem sama ekor ikan potongan terbaik dari dapur mereka yang rasanya –sumfe ya- enak banget. Gue ngga duduk di sofa lapis beludru pake AC dingin tapi gue bobo-an di lantai pke bantal yang dipake mereka pas tidur tapi ditemenin sambil curcol seru.

Dan semuanya dikasih PAKE PERASAAN. They are care. Hem, how can I describe this?

“Shin, makan dulu lah kamu. Apa kakak yang suapin?” (every 30 minutes wakakak). “Tante ngapain? Kenapa masukin jaket ke tas?” (si bulet asked me when I tried silently nabung nyusun2 barang soalnya bentar lagi mau pamitan”. “Tante minum es coklatnya juga dong,” (kata si bulet sambil nyodorin sedotan lain dari gelasnya –walau gue tau dia kudu ngelakuin itu biar dia bisa tetep minum es coklatnya HAHAHA). Etc. Etc.

For some people this might give no effect. “Receh lo, kayak gitu doang aja seneng.” But hey, ada beberapa faktor lain yang bikin those little affection feels ‘so ngena’.

1.       The way they say it. Ada manusia-manusia yang ngga bisa mengemukakan kalimatnya dengan cukup santun. Gue hidup di jaman dimana people using harash words to show their love (IYE, LO GITU JUGA KAN NYET) dan gue ternyata masih tersentuh ketika dipanggil dengan panggilan gue yang seharusnya. Sodara gue –dan si duo krucilnya ini- juga punya cara yang super kece when saying what inside their mind into words. They speak nicely. Sopan tanpa arogansi. Super rendah hati. Gue rasa ngga semua orang punya kemampuan kayak gini, even they who take pelatihan karakter or something like that. Berapa banyak sih orang di dunia ini yang masih memikirkan bagaimana perasaan lawan bicara jika kita mengatakan sesuatu? Less than a number that you can imagine.

2.       Want to listen. Lagi. Siapa yang masih punya kecenderungan gak bisa diem maunya ngomong doang? I feel this to sometimes. Kemampuan untuk ‘ngerem mulut’ even lagi ngobrol sama sanak saudara atau temen-temen terdekat, ini juga –menurut gue- merupakan karakter tersendiri. Mau mendengarkan itu sulit loh, apalagi kalo ketemu lawan bicara yang annoying LOL.

This makes me realize, ngga heran ini manusia-manusia punya banyak banget temen, coz mereka bisa bikin lawan bicara mereka merasa nyaman. At the end, perasaan kayak begini kan yang semua orang cari? And at the end, gue menemukan spasi untuk menulis lagi disini.



si krucil who makes me feel so loved. til we meet again!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar