Jumat, 08 Oktober 2010

#9 - kata dengan rasa


sejujurnya, saya kehilangan akal saya untuk sementara. imajinasi saya hilang arah, bahkan saya tidak mampu untuk mengumpulkan kata-kata yang sedang bermain di pandangan. tetapi ada satu kata yang duduk diam di pojokan, hingga saya bisa memperhatikannya, bahkan menangkapnya jika saya mau. namanya cinta. bukan tak ingin ikut bermain, tetapi sepertinya ia telah memilih untuk hanya berayun di sisi-sisi gelap dengan melemparkan senyum saja. ia tak mau lagi memaksakan diri, entah apa yang terjadi. sesekali ia menatap sesuatu dalam genggamannya, lalu mendesah perlahan, entah apa yang diharapkan. bibirnya membentuk garis lengkung, tetapi tidak ada arti bagi maknanya. seolah dia lupa akan namanya sendiri. seakan dia kosong, hanya menanti.
dan ternyata, kata itu sadar dirinya diperhatikan. saya melempar senyum, dan dia menyisakan sejarak kosong disebelahnya. saya mengangguk saja.
cinta bukan sedang kehilangan maknanya, ujarnya perlahan. ia hanya sudah letih menunjukkan perasaannya. ia masih merindukannya, ia masih menginginkannya. hanya saja, sudah terlalu dalam ia terluka. hanya sayatan-sayatan kecil, namun setiap hari didapatkannya. ia tak mampu lagi berharap, walaupun sebuncah ingin masih menyesak di dirinya. ketika ia menyadari tak akan ada lagi asa yang mampu digenggamnya, semakin besar nadi membengkak karena tak mampu menahan rindu. beribu kali angin hilir mudik mencoba menghibur, tak berguna. berulang-ulang awan melindungi dari sengatan pahit, tak mampu menarik perhatian. yang dinantikan hanya hujan, namun seringkali hujan hanya melukai. kehadirannya dinanti, namun menyakiti. sebenarnya bukan maksud hujan, tetapi sakit itu selalu ada setelah kehadirannya. betul-betul buah simalakama, merindukannya, namun tersakiti setelah meraih senyumannya.
ah, saya benar-benar tidak mengerti rasa yang dirasakannya. lagi, ia melirik genggamannya, lalu menghela nafas lagi. seolah harapannya melayang setengah ketika menyadari tak ada apa-apa ditangannya, namun sekejap bertambah dua kali lipat, yang semakin menyiksa. terlihat dari matanya.
menyadari saya memperhatikan yang ia lakukan, ia hanya membalas dengan senyuman pahit. aku sedang mengais sisa-sisa harap yang masih mampu terkumpul, bisiknya lemah. meskipun hujan tak pernah berharap seperti apa yang aku lakukan, tak apa. karena aku memberikan perasaanku tanpa pamrih. aku tak bisa memilih kepada siapa aku memberikan perasaan ini, benar?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar